Selasa, 03 Mei 2011

TANTANGAN POLANTAS DI MASA DEPAN

Dalam UU No 22 tahun 2009 tentang LLAJ disebutkan bahwa urusan lalu lintas dan angkutan jalan tidak hanya domain dari Polantas, namun sudah terintegralistik dan bersinergi dengan potensi-potensi masyarakat lainnya yang berhubungan dengan Kamseltibcar lantas. Kedepan dalam pembinaan lalu lintas dan angkutan jalan, beberapa kementerian juga memiliki peran yang sangat penting dalam pelaksanaannya. Namun, sekelompok masyarakat yang berpandangan kritis mengkoreksi bahwa pelaksanaan UULAJ (UU No 14 tahun 1992) yang terdahulu saja belum dapat diinternalisasi dan diimplementasikan dalam budaya atau kultur masyarakat Indonesia terutama dalam berkendaraan di jalan raya, kini malah terbit UU baru yang dirasakan belum mengakomodir perubahan kultur masyarakat Indonesia dalam berlalu lintas. Berbagai pertanyaan akan muncul, salah satunya menyoroti kesiapan infrastruktur dan suprastruktur kita dalam mengawal UULAJ yang belum genap berusia dua tahun ini. Namun, kita masih patut bersyukur bahwa pemerintah termasuk didalamnya Polantas masih berpikir kritis untuk mendisiplinkan rakyatnya dalam berlalu lintas.
             Sebenarnya masih banyak permasalahan lalu lintas yang menjadi pekerjaan rumah bagi para pemangku kepentingan dibidang lalu lintas, namun penulis tertarik untuk membahas prilaku Polantas sebagai pengawal terdepan dalam pelaksanaan UULAJ ini.
           
Potensi Penyimpangan UULAJ yang baru
            Kewenangan Polantas yang luas berpotensi atau memberi peluang terjadinya penyimpangan. Penyimpangan tersebut dapat berasal dari internal maupun eksternal institusi Polantas. Adapun potensi penyimpangan tersebut sebagaimana yang dikutip dari majalah Jagratara edisi 54 Juli 2010 antara lain
  1.  Sisa denda tilang tidak diberitahukan kepada pelanggar, hal tersebut berpotensi menimbulkan manipulasi extra vonis denda tilang (pasal 268)
  2.  Barang sitaan yang tidak diketahui pemiliknya tidak diumumkan dimedai massa, hal tersebut memungkinkan oknum Polantas untuk melakukan pinjam pakai secara illegal dan menggelapkan barang sitaan tersebut untuk kepentingan pribadi (pasal 271)
  3.  Polantas harus melakukan penindakan terhadap penggunaan telepon seluler pada saat mengemudikan kendaraan, hal tersebut memungkinkan diskresi dari petugas yang pertama kali melihat adanya pelanggaran tersebut karena pada umumnya pengemudi akan mengelak apabila dituduh menggunakan HP (pasal 283)
  4.  Polantas memiliki kewenangan untuk melakukan penindakan terhadap pelanggaran penggunaan isyarat suara dan klakson yang tidak sesuai peruntukkannya, namun pada saat ini banyak pengemudi yang memasang sirine atau klakson yang mirip dengan kendaraan polisi/militer dengan maksud untuk meminta fasilitas akses jalan, padahal mereka tidak ada kaitannya dengan fungsi polisi/militer (pasal 59, pasal 287 ayat 4).
  5.  Keharusan penggunaan helm standar nasional Indonesia (SNI) akan menimbulkan kerancuan dalam penindakannya, keharusan ini apabila ditetapkan hanya berdasrkan stiker SNI atau sebagainya akan berpotensi menimbulkan korupsi bagi pelaksananya dengan modus menjual, memasarkan, menggandakan tanpa ijin kepada produsen helm yang sudah memiliki SNI (pasal 291)
  6.  Penggunaan lampu disiang hari sudah merupakan ketetapan yang harus dilaksanakan, oleh sebab itu Polantas berkewajiban untuk melakukan sosialisasi dalam pelaksanaannya secara komprehensif guna member pemahaman terhadap pengguna jalan (pasal 293 ayat 2)
  7.  Mulai diberlakukannya larangan belok kiri langsung dapat menimbulkan modus penjebakan baru yang berpotensi penyimpangan (pasal 112 ayat 3)
  8.  Dana reservasi jalan akan berpotensi menimbulkan korupsi apabila tidak dikontrol dengan intensif oleh lembaga pengawasan daerah (pasal 29)
  9.  Penggunaan jalan diluar fungsinya, seperti jalan raya untuk acara politik, perkawinan, hiburan rakyat untuk perijinannya diserahkan pada Polri, namun prakteknya akan menimbulkan penyimpangan pada perijinannya apabila tidak dikontrol dengan baik (pasal 128 ayat 3)
  10.  Penyelenggara jalan yang tidak memperbaiki jalan yang rusak, terlebih lagi mengakibtakan korban meninggal dunia maupu luka ringan dan material dapat dipidana, namun membutuhkan keberanian dan kepastian dari penyidik untuk melanjutkan ke pengadilan, karena hal tersebut menyangkut institusi bukan perorangan (pasal 273)
Berdasarkan berbagai uraian diatas, ada beberapa upaya yang bisa dijadikan prioritas dalam melakukan pembenahan prilaku Polantas kedepannya, antara lain :
  1. Menjunjung tinggi etika Polantas dalam berprilaku.
  2.  Meningkatkan kesejahteraan petugas Polantas guna menghindari terjadinya KKN dalam tubuh Polantas. Selain itu adanya anggapan bahwa Polantas merupakan “job basah” dan”dapur organisasi” harus sudah mulai dipupus sedikit demi sedikit.
  3.  Menghindarkan birokrasi yang mempertemukan petugas dengan konsumen secara langsung.
  4.  Mekanisme kontrol terhadap petugas Polantas harus ketat dengan melibatkan potensi masyarakat dalam pelaksanaannya.
  5.  Pola kepemimpinan yang konsisten dalam menunjukkan kredibiltas dan integritas serta dapat menjadi contoh atau tauladan bagi bawahan.
Menurut hemat penulis, bahwa untuk melakukan perubahan kultur atau budaya prilaku Polantas harus dimulai dari dalam institusi sendiri. Polantas harus bisa menempatkan masyarakat- sebagai yang dilayani diatas segala-galanya, artinya bahwa kepentingan masyarakat haruslah dinomorsatukan atau didahulukan daripada kepentingan pribadi maupun golongan. Polantas sudah harus meninggalkan budaya sebagai “penguasa” dan beralih ke budaya “pelayan” sebagaimana tuntutan dari masyarakat demi perbaikan citra Polri khususnya Polantas dimasa depan.

Oleh :
AKP DYDIT DWI SUSANTO, SIK, M.Si
(Ses Spripim Polda Kalsel)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar