Rabu, 04 Mei 2011

“SILENT DISASTER” BERNAMA KECELAKAAN LALU LINTAS

Apabila kita mencermati tingginya angka kecelakaan lalu lintas, sepertinya hal tersebut kurang mendapat tanggapan yang serius dari kita semua. Padahal menurut pendapat beberapa ahli bahwa kecelakaan lalu lintas secara halus merupakan “mesin pembunuh” nomor satu di Indonesia. Tidak demikian halnya dengan suatu bencana yang memporakporandakan suatu daerah, merenggut jiwa dan asset kehidupan manusia lainnya yang mendapat respon dari berbagai kalangan. Hampir setiap hari kita selalu disuguhi berbagai pemberitaan di media massa baik elektronik maupun cetak yang memberitakan tentang kecelakaan lalu lntas. Hal tersebut terkadang membuat kita menganggap bahwa kecelakaan lalu lintas sebagai suatu peristiwa yang biasa saja. Ironisnya lagi sebagian masyarakat menganggap bahwa kecelakaan lalu lintas sebagai suatu takdir yang wajar yang harus diterima sehingga tidak perlu lagi dicegah maupun diminimalisir.
Masyarakat kurang menyadari bahwa kematian akibat kecelakaan lalu lintas akan terus berulang kali setiap harinya dalam kurun waktu tertentu jumlah korbannya bisa melebihi suatu bencana alam yang terjadi. Padahal menurut data yang dilansir oleh Ditlantas Polda Kalsel bahwa pada tahun 2009 telah terjadi 473 kejadian laka lantas dengan korban meninggal dunia sebesar 377 jiwa. Apabila dibandingkan dengan angka kejadian kecelakaan lalu lintas pada tahun 2010 hingga bulan September sudah mencapai 556 kejadian dengan korban meninggal dunia sebesar 249 jiwa. Hal tersebut hampir dapat dipastikan akan mengalami peningkatan jumlah kecelakaan lalu lintas di tiga bulan kedepan. Jika angka tersebut dirata-ratakan, maka setiap harinya lebih kurang satu orang meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas di sepanjang jalan Kalimantan Selatan. Kita juga bisa mengatakan bahwa setiap tahunnya jumlah korban meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas sama dengan “menghilangkan” jumlah penduduk satu desa. Terlebih lagi angka korban akibat kecelakaan lalu lintas dapat diprediksikan akan terus meningkat setiap tahunnya. Meskipun demikian, tragedi kecelakaan lalu lintas dijalan raya dianggap sebagai suatu hal yang biasa saja, walau secara perlahan namun pasti jalan raya terus menelan korban jiwa.
            Pada awal tulisan telah dibahas tentang korban meninggal dunia yang jika diakumulasikan bisa menjadi berkurangnya penduduk yang jumlahnya sebanding dengan satu desa. Namun, kemudian timbul persoalan, bagaimana dengan para korban yang selamat tetapi menderita cacat permanen? Adakah perhatian dari pemerintah atau pihak-pihak yang berkompoten terhadap para penderita cacat akibat kecelakaan lalu lintas ini?   Presentase terbesar yang menjadi korban di jalan raya adalah laki-laki dengan usia rata-rata antara 20-40 tahun yang merupakan usia produktif. Mereka pada umumnya adalah pencari nafkah atau tulang punggung bagi keluarganya. Dapat dibayangkan bagaimana kehidupan keluarganya kemudian jikalau sang pencari nafkah tidak bisa lagi bekerja mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Menurut pendapat Sdr Munzil Koordinator Masyarakat Peduli Keselamatan Jalan Raya bahwa saat ini Indonesia menduduki peringkat pertama di ASEAN dalam hal tingginya angka kecelakaan lalu lintas. Sedangkan menurut Prof Dr Idrus A Paturusi, beberapa waktu lalu, memprediksi bahwa pada tahun 2020 nanti kecelakaan lalu lintas akan menjadi mesin pembunuh nomor satu di Indonesia. Inilah yang disebut dengan “Silent Disaster” karena kecelakaan lalu lintas di jalan raya ini tidak didahului dengan gejala atau pertanda apapun. Setiap saat, setiap waktu nyawa siapapun bisa terenggut, bila lalai atau akibat kelalaian sarana dan infrastruktur transportasi.
Guna menghindari dan menekan seminimal mungkin angka kecelakaan lalu lintas diperlukan berbagai aksi nyata oleh semua kalangan, baik oleh pemerintah, pendidik, tokoh agama, tokoh masyarakat maupun masyarakat pengguna jalan. Keamanan dan keselamatan berlalu lintas bukan hanya menjadi tugas Polisi Lalu Lintas semata, namun menjadi tugas semua kalangan maupun pemangku kepentingan (stake holder) dibidang lalu lintas sesuai tugas dan kewenangnnya masing-masing sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang. Dilingkungan tempat tinggal atau rumah sudah seharusnya para orang tua menanamkan pendidikan berlalu lintas yang baik. Para pendidik harus lebih aktif dalam memberikan pendidikan berlalu lintas terutama bagi para pelajar berusia dini. Para tokoh agama dan tokoh masyarakat sekiranya dapat memasukkan pesan-pesan keselamatan berlalu lintas dalam setiap nasihatnya kepada masyarakat. Tak ketinggalan peran para produsen kendaraan bermotor yang seharusnya membuat iklan yang mendidik dengan tidak menggoda pengguna jalan untuk memacu kendaraannya sekencang mungkin seperti yang digambarkan dalam iklan. Hal tersebut dapat mempengaruhi psikologi pengendara, sehingga ketika berada di jalan raya, selalu saja mau memacu kendaraan, meskipun kondisinya tidak memungkinkan. 
Tentunya kita semua berharap dan memimpikan bahwa dilingkungan kita menjadi suatu lingkungan yang  zero accident, terbebas dari rasa ketakutan akan terjadinya kecelakaan, sehingga kita bisa menyelamatkan nasib bangsa ini dengan menghindarkan generasi penerus  dari meninggal dunia sia-sia dijalanan. 


Oleh : AKP DYDIT DWI SUSANTO, SIK, M.Si
          Ses Spripim Polda Kalsel

PERLUNYA “TRAFFIC INTELLIGENCE” DALAM MEWUJUDKAN KAMSELTIBCAR LANTAS

          Para pakar transportasi dan pengamat di bidang lalu lintas memprediksikan bahwa Jakarta sebagai ibukota negara kita akan mengalami kemacetan total pada tahun 2014. Jakarta merupakan barometer transportasi di negara kita. Apabila hal tersebut benar, maka tinggal 3 tahun lagi waktu kita untuk menghadapi dan mencari solusi terbaik agar tidak terjadi kemacetan total sebagaimana yang diprediksikan oleh para pakar tersebut. Kerugian yang harus ditanggung oleh masyarakat diperkirakan miliaran rupiah setiap tahunnya akibat kemacetan. Hal tersebut baru berbicara tentang kemacetan di Jakarta belum termasuk kota-kota besar lainnya. Oleh sebab itu, Polri melalui Polantas sebagai ujung tombak sudah seharusnya bertindak proaktif dengan melakukan langkah-langkah konkrit guna menjawab tantangan tersebut. Tindakan proaktif itulah yang mendasari pemikiran dalam mengetengahkan intelijen lalu lintas (traffic Intelligent).

           Apabila kita berbicara tentang intelijen, pikiran kita langsung mengarah pada trilogi intelijen yaitu Penyelidikan, Pengamanan dan Penggalangan. Namun dalam tulisan ini menelaah intelijen dalam arti sempit yakni Penyelidikan yang artinya melakukan kegiatan observasi yang semestinya dilakukan oleh Polisi dilapangan yaitu Polantas dan Sabhara. Diakui atau tidak, setiap Polisi yang bertugas dilapangan (jalan) melekat kepadanya fungsi Intelijen. Seharusnya setiap melakukan tugas dilapangan, setiap anggota melakukan pengamatan (observasi) dengan seksama, kemudian mencatat hal-hal penting dan mengumpulkannya, selanjutnya pada level perwira melakukan analisa dan melaporkannya pada pimpinan serta mendistribusikannya pada pihak-pihak yang berkompeten. Kegiatan observasi tersebut dapat dilakukan disaat para petugas Polantas dan Sabhara melakukan kegiatan Pengaturan, Penjagaan, Pengawalan dan Patroli (Turjawali).

           Salah satu objek observasi dalam “traffic Intelligent” menurut Brigjen Pol (purn) Suharyono adalah pemahaman tentang General Traffic Engineering yang berorientasi pada desain jalan, geometric jalan, simpang datar jalan, simpang susun jalan dan jembatan dan sebagainya yang pada intinya berkaitan dengan pembangunan fisik jalan dengan penanggung jawabnya adalah dinas perhubungan, dinas pekerjaan umum dan sebagainya. Kemudian objek observasi yang lain adalah Police Traffic Engineering yang berorientasi pada menemukan/mendeteksi penyebab disuatu ruas jalan tertentu sering terjadi kecelakaan atau kemacetan, apakah desain jalannya sudah baik?, apakah penerangan lampunya terutama dimalam hari sudah memadai atau belum?, apakah rambu-rambu dan marka-marka jalan sudah tercukupi atau belum? dan sebagainya. Adapun penanggung jawab Police Traffic Engineering adalah Polantas dalam hal ini Ditlantas maupun Satlantas setempat. Antara General dan Police Traffic Engineering adalah dua sisi mata uang yang sama, yang satu saling mendukung dengan yang lain dan bersifat sinergik.

           Selain itu, juga diperlukan peran serta dan dukungan aktif dari seluruh elemen masyarakat. Adapun bentuk peran aktif masyarakat tersebut antara lain memberikan masukan berupa tulisan maupun lisan yang nantinya diberikan kepada pihak Polantas sebagai garda terdepan penanggulangan masalah lalu lintas. Dengan demikian berbagai masukan tersebut dapat menambah khasanah informasi bagi kepentingan “traffic Intelligent”.

            Dengan demikian, Intelijen lalu lintas (traffic Intelligent) yang berbasis pada observasi dan deteksi terhadap berbagai hambatan/gangguan yang secara potensial menimbulkan permasalahan dibidang lalu lintas ditujukan untuk menajamkan cara-cara bertindak (CB-CB) yang efektif dan efisien oleh segenap personel Polisi yang diterjunkan ke lapangan, mengingat terbatasnya jumlah personel yang tersedia dari waktu ke waktu. Adapun output yang dicapai oleh Intelijen Lalu Lintas dapat digunakan sebagai bahan koordinasi lintas instansi diluar Polri, seperti Dinas Perhubungan, Dinas Pekerjaan Umum dan sebagainya. Intelijen Lalu Lintas harus dilakukan secara terarah dan terpadu dengan Polantas sebagai penjurunya, didukung oleh personel Polri yang bergerak dilapangan seperti Sabhara dan seluruh elemen masyarakat. Intelijen Lalu Lintas tidak akan berhasil dengan optimal tanpa adanya sinergi antara Polantas dengan Polisi yang bergerak dilapangan dan dukungan aktif dari seluruh masyarakat termasuk didalamnya para pemangku kepentingan (stake holder) dibidang lalu lintas. Peranan Intelijen Kepolisian dalam hal ini Dit Intelkam maupun Sat Intelkam juga turut membantu menentukan keberhasilan Intelijen Lalu Lintas dalam mencapai sasaran yang hendak dicapai yaitu terwujudnya Kamseltibcar lantas.

 Oleh : AKP DYDIT DWI SUSANTO, SIK, M.Si
            (SES SPRIPIM POLDA KALSEL)


Selasa, 03 Mei 2011

TANTANGAN POLANTAS DI MASA DEPAN

Dalam UU No 22 tahun 2009 tentang LLAJ disebutkan bahwa urusan lalu lintas dan angkutan jalan tidak hanya domain dari Polantas, namun sudah terintegralistik dan bersinergi dengan potensi-potensi masyarakat lainnya yang berhubungan dengan Kamseltibcar lantas. Kedepan dalam pembinaan lalu lintas dan angkutan jalan, beberapa kementerian juga memiliki peran yang sangat penting dalam pelaksanaannya. Namun, sekelompok masyarakat yang berpandangan kritis mengkoreksi bahwa pelaksanaan UULAJ (UU No 14 tahun 1992) yang terdahulu saja belum dapat diinternalisasi dan diimplementasikan dalam budaya atau kultur masyarakat Indonesia terutama dalam berkendaraan di jalan raya, kini malah terbit UU baru yang dirasakan belum mengakomodir perubahan kultur masyarakat Indonesia dalam berlalu lintas. Berbagai pertanyaan akan muncul, salah satunya menyoroti kesiapan infrastruktur dan suprastruktur kita dalam mengawal UULAJ yang belum genap berusia dua tahun ini. Namun, kita masih patut bersyukur bahwa pemerintah termasuk didalamnya Polantas masih berpikir kritis untuk mendisiplinkan rakyatnya dalam berlalu lintas.
             Sebenarnya masih banyak permasalahan lalu lintas yang menjadi pekerjaan rumah bagi para pemangku kepentingan dibidang lalu lintas, namun penulis tertarik untuk membahas prilaku Polantas sebagai pengawal terdepan dalam pelaksanaan UULAJ ini.
           
Potensi Penyimpangan UULAJ yang baru
            Kewenangan Polantas yang luas berpotensi atau memberi peluang terjadinya penyimpangan. Penyimpangan tersebut dapat berasal dari internal maupun eksternal institusi Polantas. Adapun potensi penyimpangan tersebut sebagaimana yang dikutip dari majalah Jagratara edisi 54 Juli 2010 antara lain
  1.  Sisa denda tilang tidak diberitahukan kepada pelanggar, hal tersebut berpotensi menimbulkan manipulasi extra vonis denda tilang (pasal 268)
  2.  Barang sitaan yang tidak diketahui pemiliknya tidak diumumkan dimedai massa, hal tersebut memungkinkan oknum Polantas untuk melakukan pinjam pakai secara illegal dan menggelapkan barang sitaan tersebut untuk kepentingan pribadi (pasal 271)
  3.  Polantas harus melakukan penindakan terhadap penggunaan telepon seluler pada saat mengemudikan kendaraan, hal tersebut memungkinkan diskresi dari petugas yang pertama kali melihat adanya pelanggaran tersebut karena pada umumnya pengemudi akan mengelak apabila dituduh menggunakan HP (pasal 283)
  4.  Polantas memiliki kewenangan untuk melakukan penindakan terhadap pelanggaran penggunaan isyarat suara dan klakson yang tidak sesuai peruntukkannya, namun pada saat ini banyak pengemudi yang memasang sirine atau klakson yang mirip dengan kendaraan polisi/militer dengan maksud untuk meminta fasilitas akses jalan, padahal mereka tidak ada kaitannya dengan fungsi polisi/militer (pasal 59, pasal 287 ayat 4).
  5.  Keharusan penggunaan helm standar nasional Indonesia (SNI) akan menimbulkan kerancuan dalam penindakannya, keharusan ini apabila ditetapkan hanya berdasrkan stiker SNI atau sebagainya akan berpotensi menimbulkan korupsi bagi pelaksananya dengan modus menjual, memasarkan, menggandakan tanpa ijin kepada produsen helm yang sudah memiliki SNI (pasal 291)
  6.  Penggunaan lampu disiang hari sudah merupakan ketetapan yang harus dilaksanakan, oleh sebab itu Polantas berkewajiban untuk melakukan sosialisasi dalam pelaksanaannya secara komprehensif guna member pemahaman terhadap pengguna jalan (pasal 293 ayat 2)
  7.  Mulai diberlakukannya larangan belok kiri langsung dapat menimbulkan modus penjebakan baru yang berpotensi penyimpangan (pasal 112 ayat 3)
  8.  Dana reservasi jalan akan berpotensi menimbulkan korupsi apabila tidak dikontrol dengan intensif oleh lembaga pengawasan daerah (pasal 29)
  9.  Penggunaan jalan diluar fungsinya, seperti jalan raya untuk acara politik, perkawinan, hiburan rakyat untuk perijinannya diserahkan pada Polri, namun prakteknya akan menimbulkan penyimpangan pada perijinannya apabila tidak dikontrol dengan baik (pasal 128 ayat 3)
  10.  Penyelenggara jalan yang tidak memperbaiki jalan yang rusak, terlebih lagi mengakibtakan korban meninggal dunia maupu luka ringan dan material dapat dipidana, namun membutuhkan keberanian dan kepastian dari penyidik untuk melanjutkan ke pengadilan, karena hal tersebut menyangkut institusi bukan perorangan (pasal 273)
Berdasarkan berbagai uraian diatas, ada beberapa upaya yang bisa dijadikan prioritas dalam melakukan pembenahan prilaku Polantas kedepannya, antara lain :
  1. Menjunjung tinggi etika Polantas dalam berprilaku.
  2.  Meningkatkan kesejahteraan petugas Polantas guna menghindari terjadinya KKN dalam tubuh Polantas. Selain itu adanya anggapan bahwa Polantas merupakan “job basah” dan”dapur organisasi” harus sudah mulai dipupus sedikit demi sedikit.
  3.  Menghindarkan birokrasi yang mempertemukan petugas dengan konsumen secara langsung.
  4.  Mekanisme kontrol terhadap petugas Polantas harus ketat dengan melibatkan potensi masyarakat dalam pelaksanaannya.
  5.  Pola kepemimpinan yang konsisten dalam menunjukkan kredibiltas dan integritas serta dapat menjadi contoh atau tauladan bagi bawahan.
Menurut hemat penulis, bahwa untuk melakukan perubahan kultur atau budaya prilaku Polantas harus dimulai dari dalam institusi sendiri. Polantas harus bisa menempatkan masyarakat- sebagai yang dilayani diatas segala-galanya, artinya bahwa kepentingan masyarakat haruslah dinomorsatukan atau didahulukan daripada kepentingan pribadi maupun golongan. Polantas sudah harus meninggalkan budaya sebagai “penguasa” dan beralih ke budaya “pelayan” sebagaimana tuntutan dari masyarakat demi perbaikan citra Polri khususnya Polantas dimasa depan.

Oleh :
AKP DYDIT DWI SUSANTO, SIK, M.Si
(Ses Spripim Polda Kalsel)

POLUSI UDARA MENGANCAM JIWA POLISI LALU LINTAS

Di era pembangunan nasional seperti saat ini, salah satu titik berat yang sedang digalakkan oleh pemerintah saat ini adalah pembangunan disegala bidang, termasuk pembangunan ekonomi. Salah satu penunjang pembangunan ekonomi adalah terpenuhinya kebutuhan dibidang transportasi yang sejalan dengan perubahan gaya hidup, perkembangan kota dan bertambahnya jumlah penduduk. Semakin meningkatnya kebutuhan transportasi, maka semakin meningkat pula konsumsi energy yang sudah barang tentu juga kan meningkatkan pencemaran udara.
            Pencemaran udara adalah kehadiran satu atau lebih substansi fisik, kimia atau biologi di atmosfir dalam jumlah yang dapat membahayakan kesehatan makhluk hidup, termasuk manusia dan mengganggu estetika serta kenyamanan atau merusak property. Pencemaran udara dapat ditimbulkan oleh sumber-sumber alami maupun kegiatan manusia (Sudrajat Agung, 2006).
            Sedangkan secara umum definisi udara yang tercemar adalah perbedaan komposisi udara actual dengan kondisi udara normal dimana komposisi udara actual tidak mendukung kehidupan manusia. Bahan atau zat pencemaran udara sendiri dapat berbentuk gas dan partikel. Banyak factor yang dapat menyebabkan pencemaran udara, diantaranya pencemaran yang ditimbulkan oleh sumber-sumber alami atau kegiatan manusia atau kombinasi keduanya. Pencemaran udara berdampak secara langsung dan local, regional, global atau tidak langsung dalam kurun waktu lama (BPLHD Jakarta, 2006).
            Kontribusi pencemaran udara 70% diantaranya dihasilkan dari sector transportasi (JICA, 1997). Padahal setiap tahunnya jumlah dan penggunaan kendaraan bermotor semakin bertambah dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 12% dengan sepeda motor memegang komposisi terbesar dengan 73% dari jumlah kendaraan pada tahun 2002-2003 dan pertumbuhannya mencapai 30% dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (Kementrian Lingkungan Hidup, 2008).
DAMPAK KESEHATAN
            Kendaraan bermotor mengeluarkan zat-zat berbahaya yang dapat menimbulkan dampak dampak negative, baik terhadap kesehatan manusiamaupun terhadap lingkungan, seperti timbal atau timah hitam (Pb), Suspended Particulate Matter (SPM), Oksida Nitrogen, (NOx), Hidrokarbon (HC), Karbon Monoksida (CO) dan Oksida Fotokimia (Ox). Kendaraan bermotor menyumbang hamper 100% timbale, 13-44% SPM, 71-89% hidrokarbon, 43-73% NOx dan hampir seluruh karbon monoksida (CO) ke udara. Adapun dampak dari zat-zat beracun tersebut apabila masuk ketubuh antara lain :
Karbon Monoksida (CO)
Formasi CO merupakan fungsi dari rasio kebutuhan udara dan bahan bakar dalam proses pembakaran di ruang bakar mesin kendaraan bermotor. Karbon Monoksida dapat mengakibatkan turunnya berat janin dan meningkatkan jumlah kematian bayi serta mengakibatkan kerusakan otak.
Nitrogen Dioksida ( NO2)
Bersifat racun terutama terhadap paru-paru. Kadar NO2 yang lebih tinggi dari 110 ppm dapat mematikan sebagian besar binatang percobaan dan 90% dari kematian tersebut disebabkan oleh gejala pembengkakan paru-paru. Sedangkan kadar NO2 sebesar 800 ppm akan mengakibatkan 100% kematian pada binatang-binatang yang diuji dalam waktu 29 menit. Selain itu percobaan pemakaian NO2 dengan kadar 5 ppm selama 10 menit terhadap manusia mengakibatkan kesulitan dalam bernafas.
Sulfur Oksida (SOx)
Pengaruh utama polutan SOx terhadap manusia adalah iritasi sistem pernafasan dan membahayakn sistem pernafasan kardiovaskuler.
Hidrokarbon (HC)
Hidrokarbon yangberada diudara akan bereaksi dengan bahan-bahan lain dan akan membentuk ikatan baru yang disebut plycyclic aromatic hydrocarbon (PAH) yang banyak dijumpai di daerah industry dan daerah padat lalu lintas. Bila PAH ini masuk dalam paru-paru akan menimbulkan lakua dan merangsang terbentuknya sel-sel kanker.
Khlorin (C12)
Apabila gas khlorin masuk dalam jaringan paru-paru dan bereaksi dengan ion hydrogen akan dapat membentuk asam khlorida yang bersifat sangat korosif dan menyebabkan iritasi dan peradangan pada manusia.
Partikulat debu (TSP)
Partikulat debu dapat langsung masuk kedalam paru-paru dan mengendap di alveoli. Selain itu, partikulat debu dapat mengganggu saluran pernafasan bagian atas dan menyebabkan iritasi.

Substansi pencemar yang terdapat diuadar dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui sistem pernafasan. Penetrasi zat pencemar tergantung dari jenis pencemar. Partikulat berukuran besar dapat tertahan di saluran pernafasan bagian atas, sedangkan partikulat berukuran kecil dan berbentuk gas dapat mencapai paru-paru. Kemudian dari Paru-paru, zat pencemar diserap oleh sistem peredaran darah dan menyebar keseluruh tubuh. Dampak kesehatan yang paling umum dijumpai adalah Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), termasuk didalamnya asma, bronchitis dan gangguan pernafasan lainnya. Beberapa zat pencemar dikategorikan sebagai toksik dan karsinogenik (BPLHD Jakarta, 2006).



KELOMPOK RENTAN
            Menurut Budi Haryoto, peneliti dari Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia mengatakan bahwa Polisi Lalu Lintas menjadi salah satu kelompok masyarakat yang rentan terhadap dampak pencemaran udara. Kandungan debu yang dihisap oleh Polantas 3-4 kali lipat dari batas normal yakni 0,065 miligram per meter kubik. Debu yang terhisap melebihi ambang batas yang telah ditentukan dapat menyebabkan gangguan saluran pernafasan, mengurangi harapan hidup 1 tahun, mempengaruhi kinerja jantung dan paru-paru, pusing, mual, muntah dan apabila menyerang balita dapat menyebabkan kematian.
            Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mery Bidangan Pasorong- Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada Yogyakarta tahun 2007 dimana hasil penelitian menyimpulkan bahwa populasi yang beresiko tinggi terhadap timah hitam (Pb) yang merupakan salah satu zat yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor adalah Polisi Lalu Lintas yang bekerja dijalan raya.
            Sebagai akibat dari menghirup udara yang tercemar setiap harinya, jiwa dan keselamatan Polantas dapat melayang. Korelasi antara amcaman pencemaran udara dengan kesehatan Polantas bukan sekedar hasil penelitian. Pada bulan Juli 2008 ada dua peristiwa yang menguatkan anggapan bahwa jalanan bisa menjadi momok bagi Polantas. Pertama, kematian Briptu Adi Sunyoto. Dia meninggal dunia dengan hasil diagnosis dokter bahwa kadar karbon di tubuhnya melebihi ambang batas. Kedua, kematian Briptu Nursahid anggota Polantas Polres Surabaya Timur. Hasil diagnosis dokter terhadap korban bahwa kadar karbon ditubuh korban melebihi ambang batas yang telah ditentukan.

PEMECAHAN MASALAH
            Guna mencegah agar tidak jatuh korban anggota Polantas lagi akibat pencemaran udara yang mengancam tanpa mereka sadari, maka upaya yang dapat dilakukan antara lain:
a) Mensosialisasikan dan membiasakan anggota yang bertugas dilapangan agar menggunakan masker. Dengan penggunaan masker diharapkan dapat menyaring partikulat debu yang masuk ke saluran pernafasan, sehingga setidaknya dapat menekan sekecil mungkin resiko gangguan pernafasan akibat dari pencemaran udara.
b) Melaksanakan pemeriksaan kesehatan secara rutin dan berkala. Dengan demikian dapat mengetahui sampai sejauhmana kondisi kesehatan para petugas Polantas, terutama anggota Polantas yang sering berada dijalanan dan dapat dilakukan upaya-upaya pencegahan dan tindakan sedini mungkin demi kesehatan para petugas Polantas.
c) Melakukan rolling atau perputaran posisi bertugas secara periodik. Petugas Polantas yang selama ini sering bertugas dibagian operasional dijalanan, dalam kurun waktu tertentu diadakan pertukaran posisi dengan petugas Polantas yang bertugas di bagian administrasi. Sehingga setidaknya dapat menekan resiko petugas untuk tercemar polusi udara.

Oleh :
AKP DYDIT DWI SUSANTO, SIK, M.Si
(Ses Spripim Polda Kalsel)

MEMBERANGUS TERORISME DI INDONESIA



Terorisme menurut UU No 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme adalah dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas dengan cara merampas kemerdekaan, menghilangkan nyawa dan harta benda atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik maupun fasilitas internasional. Selain itu, menurut As Ops Kapolri Irjen Pol Drs. Sunarko D.A, dalam kuliahnya di Lemhanas terorisme juga termasuk dalam “Extra ordinary Crime” karena terorisme menimbulkan korban jiwa dan harta benda, menimbulkan terror, memiliki jaringan yang kuat dan organisasi yang terencana dan berdampak luas baik nasional, regional maupun internasional.
Berdasarkan data yang dirilis dari Mabes Polri seperti yang disampaikan oleh As Ops Kapolri Irjen Pol Drs. Sunarko D.A, bahwa sejak tahun 2002 hingga 2011 Polri telah menangkap 604 pelaku, dengan 63 pelaku diantaranya tewas di TKP. Polri telah menyelesaikan 192 perkara terorisme dan saat ini para pelakunya telah menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan dan mengidentifikasi 10 pelaku bom bunuh diri. Berbagai peristiwa tersebut berdampak luas dan mendalam serta merusak citra bangsa Indonesia dimata Internasional.
Sebenarnya, bangsa dan negara kita telah berusaha mencegah dan menanggulangi segala bentuk radikalisme dan terorisme. Salah satu usaha untuk mencegah dan menangkal pergerakan terorisme di Indonesia adalah melalui penegakan hukum (law enforcement). Hal tersebut sejalan dengan apa yang diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 1 ayat 3 yang menyatakan bahwa Negara kita adalah Negara Hukum. Selain itu, menurut Gusagis K Ngazis (2010) bahwa penegakan hukum berdasarkan hukum positif merupakan cara yang sangat tepat dan beradab dalam rangka mengatasi terorisme di Indonesia. Namun perlu digarisbawahi bahwa penegakan hukum semata tidaklah cukup dalam mengatasi pergerakan terorisme. 
ANALISIS PERMASALAHAN
Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa penegakan hukum dinegara kita belumlah sempurna. Fakta yang menunjukkan belum sempurnanya penegakan hukum adalah adanya ketidakadilan, korupsi yang merajalela, merebaknya berbagai penyakit masyarakat, maraknya tindakan anarkhis dan sebagainya. Selain itu, lemahnya kesadaran masyarakat untuk mentaati hukum menjadi salah satu komponen penyebab tumbuh suburnya gerakan terorisme di Indonesia.  Lemahnya kesadaran masyarakat terhadap hukum salah satunya disebabkan oleh lemahnya rasa cinta masyarakat terhadap bangsa dan negaranya atau biasa disebut semangat Nasionalisme.
Menurut Gusagis K Ngazis (2010) tumbuh suburnya terorisme juga tidak terlepas dari penghayatan dan pengamalan nilai-nilai luhur Pancasila yang sangat memprihatinkan. Terlebih lagi dengan dikeluarkannya Tap MRP RI No : XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dan pembubaran BP-7, sehingga menyebabkan terjadinya degradasi diberbagai aspek kehidupan bermasyarakat dan munculnya berbagai penyebaran nilai-nilai budaya asing yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila.
Kemiskinan dan terjadinya kesenjangan sosial juga menjadi penyebab tumbuh dan berkembangnya gerakan terorisme. Kemiskinan menyebabkan siapa saja mau berbuat apa saja demi mencapai kehidupan yang lebih sejahtera. Selain itu, regulasi dinegara kita yang belum mewadahi sepenuhnya dalam menanggulangi pergerakan terorisme juga menjadi penyebab tumbuh suburnya terorisme di Indonesia. 
UPAYA PEMECAHAN MASALAH
            Meskipun terorisme merupakan tindakan yang biadab, namun dalam menanggulanginya harus tetap berpedoman pada hukum, sebab negara kita merupakan Negara hukum dan Negara yang berdasarkan hukum. Salah satu kunci keberhasilan penegakan hukum adalah penerapan hukum yang konsisten dan konsekuen dengan semangat mewujudkan keadilan dan ketertiban sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
            Selain itu, masih menurut Gusagis K Ngazis (2010) perlu adanya penjara atau lembaga pemasyarakatan khusus bagi pelaku terorisme guna mencegah terkontaminasinya tahanan kriminal lainnya dari penyebaran terorisme, sehingga kekhawatiran tahanan akan menjadi ladang subur untuk kaderisasi terorisme dapat dihindarkan.
            Selanjutnya program deradikalisasi juga merupakan salah satu program dalam upaya memberangus pergerakan terorisme di Indonesia. Menurut Brigjen Pol. Dr Petrus R. Golose (2010), deradikalisasi merupakan segala upaya untuk menetralisir paham-paham radikal melalui pendekatan interdisiplin seperti hukum, psikologi, agama dan sosial budaya bagi mereka yang dipengaruhi paham radikal dan pernah terlibat terorisme, termasuk para keluarga pelaku terorisme, simpatisan terorisme dan masyarakat umum. Adapun salah satu sasaran program tersebut adalah pelibatan narapidana dan eks narapidana kasus terorisme yang telah sadar, seperti pelibatan Nasir Abas (eks Ketua Mantiqi II Al Jamaah Al Islamiyah) dalam memberikan pencerahan kepada narapidana kasus terorisme yang belum sadar. Antara deradikalisasi dengan law enforcement diharapkan berjalan beriringan, artinya bahwa penegakan hukum dan program deradikalisasi harus dilaksanakan secara bersama-sama. Penegakan hukum tanpa deradikalisasi apalah artinya karena penegakan hukum semata tidak membuat jera para pelaku terorisme, demikian juga deradikalisasi tanpa adanya penegakan hukum juga akan mempersulit aparat penegak hukum dalam memberangus terorisme di Indonesia.
            Kemudian, menumbuhkan kembali dan penguatan kearifan lokal merupakan salah satu upaya dalam menangkal dan mencegah tumbuhnya terorisme di Indonesia. Menurut Saini KM (2005) kearifan lokal adalah sikap, pandangan dan kemampuan suatu komunitas didalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya yang dapat memberikan daya tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah dimana komunitas itu berada. Salah satu contoh kearifan lokal adalah adanya himbauan yang bertuliskan “ Tamu Wajib Lapor 1 x 24 jam”. Apabila kita telaah lebih jauh, makna himbauan tersebut adanya nilai silahturahmi, tepo seliro, keterbukaan dan saling menerima orang lain tanpa pandang bulu sebagai wujud kepedulian terhadap sesama manusia sehingga dapat dijadikan media dalam mencegah masuknya gerakan terorisme disuatu daerah.
            Dalam menanggulangi dan memberantas terorisme di Indonesia, para aparat penegak hukum berpayung pada ketentuan hukum positif yang berlaku. Disamping Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menjadi Lex Generalis, juga mengacu pada hukum khusus (lex spesialis) yaitu Undang-Undang No 15 tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No. 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang tersebut beberapa pelaku terorisme telah dihukum dan divonis hukuman mati dengan Undang-Undang ini. Namun hal tersebut tidak membuat para pelaku terorisme surut, bahkan gerakan terorisme mampu beradaptasi dan membangun jaringan baru. Oleh sebab itu, diperlukan penguatan regulasi dalam mendukung upaya pemberantasan tindak pidana terorisme yang berkembang menjadi Extra ordinary crime.
            Upaya mengantisipasi terhadap berbagai serangan terorisme yang setiap saat dapat terjadi di negara kita, mutlak harus dilakukan. Dengan adanya lembaga atau badan khusus yang menangani masalah terorisme, maka diharapkan dapat mengantisipasi dan melakukan tindakan sedini mungkin terhadap berbagai kemungkinan tumbuhnya benih-benih terorisme di masa yang akan datang. Guna menjawab kebutuhan tersebut maka pemerintah telah membentuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) berdasarkan Peraturan Presiden RI (Perpres) No. 46 tahun. Selain itu, diperlukan juga penguatan Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti teror yang dimiliki oleh Polri dari tingkat pusat hingga daerah (Polda). Penguatan tersebut tidak hanya penguatan kemampuan, namun juga penguatan dibidang sarana prasarana, sumber daya manusia, anggaran dan sebagainya.
            Adapun upaya penanggulangan terorisme yang tak kalah pentingnya adalah melakukan gerakan pemasyarakatan Pancasila dengan berlandaskan kepada nilai-nilai luhur Pancasila yang merupakan pedoman hidup dan pedoman bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 
Oleh : Dydit Dwi Susanto, SIK, M.Si 
           Ses Spripim Polda Kalsel